Foomer Official – Serikat Pekerja Pos Indonesia (SPAI) mengeluarkan pernyataan keras terhadap aturan baru. Aturan tersebut mengatur mengenai tarif pos komersial di seluruh Indonesia. SPAI menilai kebijakan ini merugikan pelaku usaha kecil dan menengah. Selain itu, aturan baru dianggap tidak mengakomodasi keadilan tarif. Dalam keterangan resminya, SPAI menyebut aturan ini timpang. Ada kecenderungan menguntungkan operator besar, dan melemahkan operator kecil. Kondisi ini memicu keresahan di kalangan pekerja pos lokal.
SPAI menyampaikan keberatannya terhadap kurangnya keterbukaan dalam proses penyusunan aturan. Menurut mereka, tidak ada pelibatan stakeholder secara menyeluruh. Termasuk pekerja pos, koperasi, serta usaha mikro yang bergantung pada layanan logistik. Aturan diterbitkan tanpa konsultasi publik yang memadai. Hal ini menimbulkan spekulasi adanya kepentingan tertentu di balik kebijakan. SPAI juga menilai isi aturan sulit diakses oleh masyarakat umum. Ketertutupan ini memperparah persepsi negatif terhadap kebijakan baru tersebut.
“Baca Juga : Gubernur BI Temui Prabowo di Istana, Ini Dugaan Agendanya”
Aturan tarif baru berdampak pada operasional pos di tingkat daerah. Banyak pekerja lapangan merasa khawatir akan potensi penurunan volume pengiriman. Tarif baru membuat pelanggan beralih ke jasa kurir swasta yang lebih fleksibel. Akibatnya, banyak kantor pos di daerah mulai kehilangan pelanggan. Pekerja merasa beban kerja tetap tinggi, tapi pendapatan cenderung menurun. SPAI menyebut ada potensi pengurangan tenaga kerja jika situasi ini berlanjut. Ketidakpastian ini membuat keresahan tumbuh di kalangan karyawan.
Salah satu kritik utama dari SPAI adalah ketidakseimbangan tarif antarwilayah. Daerah-daerah terpencil akan dikenakan tarif tinggi karena skema baru berbasis zonasi. Hal ini akan memperlebar kesenjangan akses logistik antarwilayah. SPAI menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi layanan pos nasional. Mereka menyebut negara seharusnya hadir menjembatani kesenjangan geografis. Bukannya justru membebani masyarakat pinggiran dengan tarif mahal. Ketidakadilan ini dianggap bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan.
“Simak juga: Peluang dan Risiko di Balik Rencana Kopdes Salurkan Bantuaan”
SPAI juga menyoroti kecenderungan aturan ini menguntungkan pelaku usaha besar. Operator pos komersial bermodal besar akan mudah beradaptasi dengan aturan. Sebaliknya, koperasi dan usaha kecil tidak memiliki daya saing yang sama. Mereka tidak mampu mengikuti tarif minimal yang ditetapkan pemerintah. Padahal selama ini, operator kecil sangat membantu menjangkau wilayah pelosok. Jika tren ini berlanjut, maka kompetisi usaha akan terganggu. SPAI menyebut ini sebagai bentuk diskriminasi struktural terhadap pemain kecil.
Menanggapi aturan baru ini, SPAI mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah. Mereka menuntut revisi kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari lapangan. SPAI menginginkan adanya forum dialog terbuka antarsemua pihak. Dialog ini penting untuk mencari solusi bersama yang adil dan proporsional. Pemerintah diminta lebih sensitif terhadap dampak kebijakan terhadap pekerja. SPAI juga mengusulkan uji coba terbatas sebelum aturan diterapkan penuh. Pendekatan ini diyakini bisa meminimalisasi risiko sosial dan ekonomi.
Tidak hanya berdampak pada pekerja pos, aturan ini juga memukul sektor UMKM. Banyak pelaku UMKM menggunakan layanan pos untuk distribusi produk. Dengan naiknya tarif secara tidak proporsional, beban biaya logistik meningkat. Hal ini mengganggu kelancaran operasional dan margin keuntungan mereka. SPAI menyatakan UMKM harus dilindungi dalam ekosistem logistik nasional. Mereka adalah tulang punggung ekonomi lokal yang rentan terguncang. Pemerintah diminta mengevaluasi kebijakan dengan mempertimbangkan suara pelaku UMKM.
Pemerintah menyebut aturan baru ini untuk mendorong efisiensi lewat teknologi. Namun SPAI menganggap pendekatan ini tidak menyentuh persoalan mendasar. Masalah utamanya bukan sekadar teknologi, tetapi struktur biaya dan jangkauan layanan. Efisiensi tidak boleh mengorbankan prinsip keterjangkauan dan pemerataan. Terutama bagi masyarakat di luar kota besar yang tergantung pada pos. SPAI meminta agar modernisasi layanan tetap mempertahankan nilai-nilai sosial. Jangan sampai modernisasi menjadi dalih untuk menghapus fungsi publik dari pos.
Dalam pernyataannya, SPAI mendesak pemerintah mengembangkan regulasi yang adaptif. Aturan tarif harus mencerminkan kondisi geografis dan sosial-ekonomi yang beragam. Regulasi tidak bisa bersifat kaku dan seragam di seluruh wilayah. SPAI juga meminta regulasi lebih inklusif dengan memperhatikan pelaku usaha kecil. Keadilan tarif tidak bisa dicapai jika hanya berpatokan pada efisiensi finansial. Harus ada komponen subsidi silang atau kebijakan afirmatif. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan dan keadilan sistem logistik nasional.
Kritik SPAI mendapat dukungan dari sejumlah akademisi dan pengamat industri logistik. Mereka menilai kebijakan ini memang cenderung teknokratis dan kurang berorientasi sosial. Beberapa pengamat menyebut perlunya audit independen atas skema tarif baru. Mereka juga menilai pentingnya kehadiran BPK atau Ombudsman dalam mengawal implementasinya. Jika tidak dikawal, aturan ini berpotensi menjadi bumerang sosial dan ekonomi. Dukungan ini memperkuat posisi tawar SPAI dalam mendorong revisi aturan. Pemerintah pun diminta lebih terbuka menerima kritik dan masukan.
Sampai saat ini, implementasi aturan tarif baru masih dalam tahap awal. Beberapa wilayah telah melaporkan penurunan transaksi dan keluhan pelanggan. SPAI terus memantau dampaknya secara nasional melalui perwakilan daerah. Mereka juga menggalang solidaritas dengan serikat pekerja lain di sektor logistik. Tujuannya adalah memperkuat advokasi dan tekanan kepada regulator. Pihak kementerian sendiri belum memberikan tanggapan rinci atas tuntutan tersebut. Namun SPAI menyatakan akan terus mengawal isu ini secara aktif dan terbuka.