
Foomer Official – Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), kembali memangkas suku bunga acuannya untuk kedua kali berturut-turut pada Rabu (29/10/2025) waktu setempat. Dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), suku bunga pinjaman antarbank semalam dipangkas menjadi kisaran 3,75-4 persen, dengan hasil voting 10-2. Keputusan ini sempat disambut positif oleh pasar sebelum berubah arah setelah pernyataan hati-hati dari Ketua The Fed, Jerome Powell. Ia menyebut, pemangkasan berikutnya pada Desember belum tentu terjadi. Pernyataan itu membuat investor mulai berhitung ulang soal arah kebijakan moneter AS. Langkah ini juga diiringi dengan penghentian kebijakan quantitative tightening (QT) mulai 1 Desember mendatang menandakan perubahan besar dalam strategi ekonomi Amerika Serikat.
Keputusan pemangkasan ini tidak diambil secara bulat. Dua pejabat tinggi The Fed menyatakan penolakan dengan alasan berbeda. Stephen Miran, Gubernur The Fed yang dikenal dekat dengan Presiden Donald Trump, menilai pemangkasan seharusnya dilakukan lebih agresif, sebesar setengah poin. Sementara Jeffrey Schmid, Presiden The Fed Kansas City, justru ingin agar suku bunga tidak diturunkan sama sekali. Perbedaan pandangan ini mencerminkan situasi ekonomi AS yang kompleks. Sebagian pihak melihat tanda perlambatan, sementara yang lain khawatir pemangkasan berlebihan justru memicu inflasi baru. Powell menegaskan, perdebatan ini menunjukkan The Fed bersikap lebih hati-hati dan berbasis data, bukan sekadar mengikuti tekanan pasar.
“Baca Juga : Digitalisasi Dorong DPK Bank Mandiri Tumbuh 13 Persen, Tembus Rp 1.884 Triliun”
Setelah pengumuman pemangkasan suku bunga, saham-saham di Wall Street sempat melonjak karena investor berharap pelonggaran moneter akan berlanjut hingga akhir tahun. Namun euforia itu tak bertahan lama. Dalam konferensi pers, Powell menegaskan bahwa pemangkasan pada Desember “bukan hal yang pasti, bahkan jauh dari itu.” Ucapan tersebut langsung mengubah arah pasar. Berdasarkan data CME Group’s FedWatch, peluang pemangkasan Desember turun dari 90 persen menjadi hanya 67 persen dalam satu malam. Indeks utama seperti S&P 500 dan Nasdaq sempat melemah, meski perlahan pulih menjelang penutupan perdagangan. Sinyal Powell menjadi pengingat bahwa The Fed kini melangkah lebih hati-hati di tengah ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Langkah The Fed kali ini diambil dalam kondisi minim data ekonomi terbaru. Pemerintah AS menghentikan sementara pengumpulan dan publikasi data akibat kendala administratif. Satu-satunya data utama yang tersedia hanyalah indeks harga konsumen (CPI) yang dirilis pekan lalu. Sementara data penting lain seperti lapangan kerja, penjualan ritel, dan output industri masih tertunda. Dalam pernyataannya, The Fed mengakui bahwa kebijakan ini diambil di tengah ketidakpastian tinggi, namun menegaskan ekonomi AS masih tumbuh dalam laju moderat. Tingkat pengangguran memang sedikit meningkat tetapi tetap rendah. Powell juga menyoroti bahwa inflasi masih tinggi meskipun melambat dibanding awal tahun. Kondisi ini membuat langkah kebijakan moneter harus dilakukan secara hati-hati.
Pemangkasan suku bunga acuan berdampak langsung pada berbagai produk keuangan yang digunakan masyarakat. Kredit kendaraan, hipotek (KPR), dan kartu kredit menjadi sektor yang paling cepat merespons perubahan ini. Bagi konsumen, penurunan suku bunga berarti beban bunga lebih ringan. Namun bagi investor, imbal hasil dari instrumen seperti deposito bisa berkurang. Pelaku usaha menyambut baik kebijakan ini karena dapat menekan biaya pinjaman dan mendorong investasi. Meski begitu, para analis mengingatkan bahwa pemangkasan berlebihan bisa memicu kenaikan inflasi baru. Powell memahami dilema ini, sehingga memilih pendekatan pragmatis dan berbasis data ekonomi untuk kebijakan berikutnya.
Keputusan The Fed selalu menjadi barometer ekonomi global. Pemangkasan kali ini juga berdampak luas. Di Asia, termasuk Indonesia, reaksi pasar terlihat melalui penguatan dolar AS dan fluktuasi harga emas. Beberapa negara berkembang mulai mengantisipasi potensi arus modal keluar karena investor kembali ke aset dolar. Sementara lembaga internasional seperti IMF memperingatkan bahwa kebijakan moneter AS yang tidak konsisten bisa mengguncang stabilitas global, terutama di kawasan Asia. Meski begitu, banyak analis menilai langkah The Fed menunjukkan komitmen menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas faktor penting di tengah ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi dunia.
Jerome Powell kini berada di posisi sulit. Di satu sisi, ia menghadapi tekanan politik dari Gedung Putih dan pelaku pasar yang mendesak pelonggaran lebih cepat. Di sisi lain, ia harus memastikan inflasi benar-benar terkendali sebelum mengambil langkah baru. Powell menegaskan bahwa setiap keputusan akan didasarkan pada data aktual, bukan ekspektasi publik. Ia menilai penting untuk berhati-hati di tengah sinyal perlambatan ekonomi global. Dengan peluang pemangkasan yang menurun, Desember diperkirakan menjadi bulan penuh ketegangan bagi pasar keuangan. Bagi Powell, menjaga kredibilitas The Fed dan kepercayaan publik tampaknya menjadi prioritas utama, bahkan jika hal itu berarti mengecewakan sebagian pelaku pasar yang berharap lebih banyak pelonggaran kebijakan.