Rupiah Tertekan ke Level Rp16.578 per Dolar AS, Analis Sebut Dampak Pernyataan The Fed
Foomer Official – Nilai tukar rupiah kembali dibuka melemah pada perdagangan pasar spot, Senin (6/10/2025), di posisi Rp16.578 per dolar AS. Angka ini menunjukkan penurunan 15 poin atau 0,08 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya. Pelemahan ini menandakan tekanan terhadap mata uang Garuda masih berlanjut di tengah sentimen global yang belum stabil.
Di kawasan Asia, pergerakan mata uang cenderung bervariasi. Peso Filipina naik sebesar 0,40 persen, sedangkan yen Jepang justru anjlok 1,52 persen. Adapun baht Thailand ikut melemah 0,20 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar mata uang Asia masih berada di bawah tekanan akibat penguatan dolar AS.
Sementara itu, sejumlah mata uang utama negara maju juga menunjukkan pergerakan yang tidak seragam. Poundsterling Inggris tercatat menguat 0,30 persen, tetapi euro Eropa melemah 0,22 persen. Franc Swiss juga mengalami pelemahan signifikan sebesar 0,9 persen terhadap dolar AS. Fluktuasi ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi serta meningkatnya permintaan terhadap dolar sebagai aset lindung nilai.
Baca Juga : Strategi BMW dan Mercedes-Benz Hadapi Penghapusan Bea Masuk Mobil Eropa di Indonesia
Menurut Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, pelemahan rupiah kali ini disebabkan oleh penguatan dolar AS yang cukup besar. Kenaikan dolar dipicu oleh pernyataan hawkish dua pejabat The Federal Reserve (The Fed), yakni Lorie Logan dan Philip Jefferson, yang menegaskan bahwa bank sentral AS perlu berhati-hati dalam menurunkan suku bunga.
“Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa The Fed belum akan segera melonggarkan kebijakan moneternya. Hal ini mendorong dolar AS menguat dan menekan sebagian besar mata uang dunia, termasuk rupiah,” ujar Lukman kepada CNNIndonesia.com.
Lukman memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.500 hingga Rp16.650 per dolar AS dalam waktu dekat. Ia menilai tekanan eksternal masih cukup kuat, terutama karena pasar global sedang menantikan kejelasan arah kebijakan moneter AS.
“Selama belum ada sinyal pasti bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga, pasar akan tetap berhati-hati dan cenderung mengoleksi dolar,” tambahnya. Meskipun demikian, ia menilai fundamental ekonomi Indonesia yang relatif kuat dapat menahan pelemahan rupiah agar tidak terlalu dalam.
Pelemahan rupiah berpotensi memberikan tekanan terhadap harga impor dan inflasi, terutama pada sektor energi dan bahan baku industri. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga bisa menjadi peluang bagi pelaku ekspor yang memperoleh pendapatan dalam dolar AS. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan memperkuat cadangan devisa untuk mengantisipasi gejolak eksternal yang berkelanjutan.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah di awal pekan ini menunjukkan bahwa sentimen global masih menjadi faktor dominan dalam menentukan arah pergerakan nilai tukar. Penguatan dolar AS akibat kebijakan The Fed menjadi tekanan utama bagi rupiah dan mata uang Asia lainnya. Dengan menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat koordinasi antar-lembaga, Indonesia diharapkan mampu menjaga kepercayaan pasar di tengah kondisi global yang fluktuatif.