Foomer Official – Kisruh soal lahan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, kembali memanas. Bentrokan antara warga dan aparat terjadi pekan lalu. Insiden ini memicu pertanyaan publik soal status kepemilikan tanah tersebut. Investigasi terbaru mengungkap bahwa lahan sengketa dimiliki oleh Lippo Group. Hal ini memperkeruh suasana karena sebelumnya identitas pemilik masih simpang siur. Kejelasan soal legalitas dan hak atas tanah kini dipertanyakan. Warga yang menghuni kawasan itu mengaku sudah tinggal puluhan tahun.
Bentrokan terjadi saat pihak keamanan mencoba mengosongkan lahan. Sejumlah alat berat didatangkan untuk meratakan bangunan semi permanen. Warga mencoba bertahan dan menolak penggusuran. Adu mulut pun berubah menjadi aksi fisik yang melibatkan aparat. Beberapa warga mengalami luka ringan dan sesak napas akibat gas air mata.
“Baca Juga : Penyakit Misterius di Kongo Menyerang 431 Orang, Ini Gejalanya”
Lippo Group melalui kuasa hukumnya mengklaim memiliki bukti sah atas lahan. Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) disebut telah diterbitkan sejak tahun 2005. Mereka berencana membangun proyek komersial dan perumahan mewah di area tersebut. Namun warga menyatakan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses itu.
Pemerintah daerah Jakarta Selatan menyatakan akan mengevaluasi prosedur penggusuran. DPRD DKI Jakarta turut menyuarakan kekhawatiran terhadap pelaksanaan di lapangan. Beberapa anggota DPRD menuntut penyelidikan lebih lanjut. Mereka mempertanyakan apakah ada pelanggaran hak masyarakat dalam proses ini.
“Simak juga: LG Tak Mundur, Malah Kucurkan Dana Besar untuk Baterai EV”
Aktivis hak asasi manusia menilai bahwa penggusuran harus mengedepankan dialog. Pendekatan represif dinilai tidak manusiawi dan dapat melanggar hukum internasional. Pengacara publik dari LBH Jakarta menyebut bahwa warga punya hak menuntut ganti rugi. Mereka juga bisa menempuh jalur pengadilan untuk menguji keabsahan HGB tersebut.
Banyak warga kehilangan tempat tinggal akibat kejadian tersebut. Mereka kini tinggal di tenda darurat yang didirikan di pinggir jalan. Anak-anak tidak bisa bersekolah dengan tenang karena trauma. Ketidakjelasan nasib membuat kondisi sosial warga makin rapuh. Lembaga swadaya masyarakat mulai menyalurkan bantuan darurat.