Foomer Official – Penipuan di dunia maya semakin mengkhawatirkan. Tahun ini, total kerugian akibat penipuan internet mencapai Rp1,7 triliun. Angka tersebut bukan hanya mencerminkan jumlah uang yang hilang. Namun juga menunjukkan betapa seriusnya ancaman siber di era digital. Para pelaku kian canggih dan sulit dilacak. Mereka memanfaatkan teknologi, manipulasi psikologis, dan kelemahan sistem keamanan untuk menguras dana korban secara brutal dan sistematis.
Salah satu modus yang paling sering digunakan adalah phishing. Pelaku membuat situs atau email palsu yang menyerupai lembaga resmi. Korban diarahkan untuk mengisi data pribadi atau informasi rekening. Tanpa sadar, mereka memberikan akses langsung kepada pelaku. Kini, modus phishing tak hanya melalui email. Namun juga lewat SMS, WhatsApp, bahkan iklan di media sosial. Kreativitas pelaku membuat banyak korban terkecoh.
“Baca Juga : Bos OJK: Dunia Masih Stagnan, RI Harus Bersiap”
Banyak penipuan memanfaatkan kelemahan psikologis korban. Pelaku membangun kepercayaan lewat komunikasi persuasif. Mereka bisa berpura-pura sebagai petugas bank, kerabat jauh, atau atasan kantor. Saat korban mulai percaya, pelaku mulai meminta data sensitif. Bahkan tak jarang korban rela mentransfer uang tanpa curiga. Teknik social engineering ini sangat efektif karena menyerang sisi emosional manusia.
Platform investasi palsu menjamur di internet. Dari robot trading hingga aset kripto fiktif, semuanya menawarkan janji manis. Iming-iming keuntungan tinggi membuat banyak orang tergoda. Pelaku membuat website yang terlihat profesional dan meyakinkan. Bahkan disertai testimoni palsu dan izin usaha yang dipalsukan. Setelah dana masuk, platform menghilang dan korban tak bisa menghubungi siapa pun.
“Simak juga: Jumlah Kasus Diabetes pada Remaja Meningkat Drastis di Indonesia”
Belanja online penipuan internet pun tak lepas dari risiko penipuan. Banyak korban membeli barang yang tak pernah dikirim. Atau menerima produk palsu yang tak sesuai deskripsi. Penjual fiktif memanfaatkan platform marketplace dan media sosial. Mereka menggunakan foto produk yang menarik namun sebenarnya tidak memiliki stok. Setelah pembayaran dilakukan, akun mereka langsung lenyap. Proses pelaporan pun kerap tak membuahkan hasil.
Modus penipuan internet baru yang muncul adalah penipuan melalui nomor layanan pelanggan palsu. Korban mencari bantuan di internet, lalu menemukan nomor CS palsu. Pelaku yang menyamar sebagai petugas akan meminta OTP atau PIN. Mereka bahkan mengarahkan korban untuk mengunduh aplikasi yang bisa mengakses perangkat korban dari jarak jauh. Dalam hitungan menit, saldo rekening lenyap total.
Tak hanya korban yang ceroboh, banyak aplikasi digital juga memiliki celah keamanan. Beberapa di antaranya gagal melindungi data pengguna dengan baik. Ini dimanfaatkan oleh hacker untuk mencuri informasi penting. Data seperti nomor rekening, alamat email, dan nomor telepon bisa dijual di pasar gelap. Dari sana, penipuan skala besar bisa terjadi secara sistematis dan terencana.
Dampak penipuan digital tak hanya soal uang. Banyak korban mengalami trauma, stres, dan rasa malu. Mereka enggan bercerita karena merasa bersalah. Bahkan ada yang kehilangan kepercayaan pada dunia digital. Di sisi sosial, reputasi korban juga bisa tercoreng. Khususnya jika data mereka digunakan untuk penipuan lanjutan oleh pelaku.
Salah satu penyebab utama maraknya penipuan adalah rendahnya literasi digital. Banyak masyarakat belum memahami cara mengamankan data pribadi. Mereka juga mudah percaya pada informasi yang belum diverifikasi. Kurangnya edukasi dari sekolah, keluarga, dan pemerintah memperparah situasi. Padahal, perlindungan diri di dunia maya sama pentingnya dengan di dunia nyata.
Bank dan platform digital punya tanggung jawab besar. Mereka harus meningkatkan sistem keamanan dan deteksi penipuan. Verifikasi ganda, notifikasi real-time, dan proteksi akun wajib ditingkatkan. Sayangnya, belum semua lembaga serius mengembangkan perlindungan ini. Bahkan, proses pengembalian dana korban sering kali lambat dan berbelit. Hal ini membuat kepercayaan publik makin menurun.
Menghadapi penipuan digital tak bisa dilakukan sendirian. Butuh kerja sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Penegakan hukum juga harus diperkuat. Pelaku penipuan siber harus ditindak tegas dan cepat. Kampanye literasi digital perlu digalakkan secara luas dan berkelanjutan. Jika tidak, kerugian Rp1,7 triliun ini bisa meningkat drastis di masa depan.