Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng
Foomer Official – Apa jadinya jika anggaran pendidikan meroket hingga ratusan triliun, tapi ruang kelas tetap bolong, atap roboh, dan jutaan anak Indonesia tidak pernah mencicipi bangku sekolah? Jawabannya: selamat datang di realitas pendidikan Indonesia, di mana lebih banyak uang tidak berarti lebih banyak belajar.
Mari kita mulai dengan angka: anggaran pendidikan Indonesia pada tahun 2025 mencapai Rp724,2 triliun. Luar biasa, bukan? Tapi jangan buru-buru kagum. Sebab dari jumlah sebesar itu, hanya Rp91,2 triliun yang benar-benar sampai ke pendidikan dasar dan menengah—tempat jutaan anak Indonesia seharusnya duduk dan belajar.
Sisanya? Tersebar entah ke mana. Salah satu penampung dana terbesar adalah pendidikan kedinasan yang menyedot Rp104,5 triliun. Dan tahu berapa orang yang menikmatinya? 13.000 orang saja. Iya, Anda tidak salah baca: Rp104,5 triliun untuk 13 ribu orang. Itu sama saja dengan Rp8 miliar per orang—sebuah “beasiswa” yang begitu megah hingga mungkin satu orang bisa membangun satu sekolah sendiri. Ironi paling indah di negara ini.
“baca juga: Obligasi AS Terpuruk, Kenyamanan Investor Hilang“
Melchias Mekeng, anggota Komisi XI DPR, benar-benar menepuk meja logika dalam rapat bersama Kementerian Keuangan. Ia membeberkan data mengkhawatirkan: 24,3% masyarakat Indonesia tidak pernah sekolah. Sementara 22,27% hanya tamat SD, dan hanya sekitar 5% yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi.
Dengan statistik seperti ini, kita seharusnya panik. Tapi entah kenapa, pemerintah tetap tampak santai. Mungkin karena angka-angka itu terlalu kecil dibandingkan jumlah nol dalam APBN pendidikan.
Pemerintah suka menyebut-nyebut “bonus demografi.” Tapi pertanyaannya: bonus untuk siapa? Jika hanya 5% yang berhasil menyentuh bangku perguruan tinggi, apakah sisanya akan menjadi penonton dalam “pesta ekonomi” yang dijanjikan?
Dalam kondisi ini, mimpi “Indonesia Emas 2045” lebih terdengar seperti slogan sinetron ketimbang rencana strategis. Bagaimana tidak? Bonus demografi hanya akan jadi berkah kalau ditopang oleh kualitas SDM. Dan kualitas tidak bisa dibangun di atas ruang kelas yang roboh dan guru honorer yang dibayar seadanya.
Mekeng bahkan menunjukkan video yang menggambarkan kondisi sekolah di daerah NTT yang rusak parah. Atap bocor, lantai tanah, papan tulis kusam—semua menunjukkan bahwa dana pendidikan belum benar-benar menyentuh akar masalah. Tapi anehnya, anggaran seremonial, pelatihan birokrat, dan pendidikan kedinasan terus digelontorkan tanpa rasa bersalah.
Apakah memang lebih penting mencetak birokrat baru ketimbang memastikan setiap anak bisa mengeja namanya sendiri?
Mekeng meminta agar Komisi XI diberikan wewenang untuk menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan langsung ke daerah. Sebuah ide yang terdengar menarik—tapi sekaligus mencurigakan. Apakah ini upaya tulus membantu, atau justru membuka ruang baru untuk “bagi-bagi proyek” di lapangan?
Karena jika sejarah mengajarkan sesuatu, itu adalah: ketika politik ikut campur dalam anggaran, seringkali yang belajar justru bukan murid, tapi para pejabatnya.
Kita tidak butuh lebih banyak uang—kita butuh akuntabilitas, keberpihakan, dan integritas. Anggaran pendidikan sebesar Rp724 triliun bukanlah prestasi, tapi ujian. Dan sejauh ini, negara kita gagal menjawabnya.
Kalau masih seperti ini, bukan “Indonesia Emas” yang akan kita capai. Tapi “Indonesia Cemas”—tempat di mana masa depan dijual murah demi seremonial dan anggaran yang tak menyentuh sasaran.