BI Ungkap Kredit UMKM Belum Pulih, Cuma Tumbuh 2,18 Persen per Juni
Foomer Official – Bank Indonesia (BI) kembali menyoroti kondisi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan penuh. Dalam BI Editors Briefing 2025 yang berlangsung di Labuan Bajo, Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Bambang Arianto, menjelaskan bahwa pertumbuhan kredit UMKM masih tertinggal dibandingkan sektor lainnya.
“Kredit UMKM sekarang masih belum sepenuhnya pulih dari pada waktu pandemi kemarin,” ujar Bambang. Meski berbagai kebijakan restrukturisasi telah dilakukan, nyatanya laju kredit masih melambat signifikan jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi melanda.
Mengacu pada data BI per Juni 2025, kredit UMKM hanya tumbuh 2,18 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit secara keseluruhan yang mencapai 7,77 persen. Bahkan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan kredit UMKM pun menurun dari sebelumnya 5,68 persen.
Bambang menambahkan bahwa sektor yang paling terdampak dari perlambatan ini adalah perdagangan dan pertanian—dua sektor yang seharusnya menjadi tulang punggung pelaku UMKM di daerah.
Baca Juga : Nathalie Holscher Minta Maaf usai Panen Hujatan Imbas Parodikan Kehamilan Erika Carlina
Permasalahan ini ternyata tidak hanya bersumber dari dalam, tetapi juga berkaitan erat dengan kondisi makro ekonomi global. Menurut Bambang, tertahannya permintaan dari korporasi besar menjadi salah satu penyebab utama lemahnya perputaran bisnis di kalangan UMKM.
“Kalau satu korporasi terhambat, UMKM-nya lebih banyak lagi yang terhambat,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan betapa eratnya ketergantungan antara sektor usaha besar dengan pelaku UMKM yang berperan sebagai bagian dari rantai pasok.
Sisi lain yang membuat bank cenderung berhati-hati adalah meningkatnya risiko kredit. Rasio kredit bermasalah (NPL) UMKM per Juni 2025 tercatat sebesar 4,41 persen, atau jauh lebih tinggi dari NPL kredit secara umum. Rinciannya, NPL tertinggi berasal dari segmen menengah sebesar 5,7 persen, disusul segmen kecil 4,3 persen, dan mikro 4,1 persen.
Kondisi ini membuat lembaga keuangan semakin selektif dalam menyalurkan pembiayaan ke sektor UMKM. Padahal, akses modal merupakan kunci penting bagi keberlanjutan bisnis UMKM, terutama dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Meskipun kredit UMKM secara umum mengalami perlambatan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) masih menjadi penopang utama. Hingga Juni 2025, penyaluran KUR telah mencapai Rp131,84 triliun yang disalurkan kepada 2,3 juta debitur. Jumlah tersebut setara 45,9 persen dari target nasional tahun ini, yakni Rp287,47 triliun.
Lebih melegakan lagi, risiko kredit KUR masih relatif terkendali. Rasio NPL KUR tercatat hanya 2,38 persen, berada di bawah rata-rata industri. Ini menunjukkan bahwa program subsidi pemerintah tersebut masih menjadi instrumen efektif untuk mendorong pertumbuhan kredit UMKM tanpa menimbulkan lonjakan risiko signifikan.
Meski berbagai indikator menunjukkan tekanan, BI tetap memandang masa depan kredit UMKM dengan optimisme yang hati-hati. Bambang menyebutkan bahwa ke depan, laju kredit UMKM berpeluang meningkat seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi global.
Salah satu faktor kuncinya adalah meredanya ketidakpastian dagang, khususnya terkait kebijakan tarif dari Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Jika tekanan eksternal berkurang, roda rantai pasok akan kembali berputar dan permintaan terhadap barang dan jasa UMKM pun akan meningkat.
Fakta bahwa kredit UMKM belum sepenuhnya pulih memang menjadi tantangan, namun juga bisa menjadi peluang. Saatnya pemerintah, perbankan, dan pelaku UMKM bersinergi lebih kuat untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan inklusif.
Pemulihan ekonomi tak akan lengkap tanpa kebangkitan UMKM. Dan untuk itu, diperlukan lebih dari sekadar restrukturisasi. Transformasi digital, pendampingan usaha, dan akses pembiayaan yang inklusif menjadi kunci penting agar UMKM tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dan berkembang.