Foomer Official – Pada 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer dengan alasan menjaga stabilitas nasional dari ancaman keamanan yang tidak dijelaskan secara rinci. Langkah ini memicu kegemparan publik setelah tentara dikerahkan untuk mengamankan gedung parlemen dan berbagai pembatasan diberlakukan terhadap aktivitas politik.
Namun, deklarasi tersebut hanya bertahan enam jam setelah Majelis Nasional, yang didominasi oleh oposisi, menolak keputusan tersebut dan mencabut status darurat militer. Para kritikus menuduh Yoon menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar konstitusi, sementara pendukungnya menyebut langkah itu sebagai upaya tegas melindungi negara dari potensi ancaman.
Tak lama setelah pencabutan darurat militer, partai oposisi mengajukan mosi pemakzulan terhadap Presiden Yoon. Pemungutan suara terkait pemakzulan ini dijadwalkan berlangsung pada 7 Desember 2024. Jika disetujui, Yoon akan diskors dari jabatannya hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan keabsahan pemakzulan tersebut.
Di sisi lain, polisi tengah menyelidiki Yoon atas dugaan pemberontakan dan pengkhianatan. Kedua tuduhan ini termasuk pelanggaran berat dalam sistem hukum Korea Selatan, yang dapat berujung pada hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Meski eksekusi hukuman mati terakhir di Korea Selatan dilakukan pada 1997, undang-undang ini masih berlaku hingga saat ini.
“Baca Juga: Presiden Yoon Suk Yeol di Protes Oleh Warga Korea Selatan”
Deklarasi darurat militer langsung memicu kemarahan publik. Ribuan warga Seoul turun ke jalan dengan membawa lilin sebagai simbol protes damai terhadap kebijakan yang mereka anggap otoriter. Demonstrasi ini terjadi di berbagai titik strategis, termasuk depan kantor presiden di Blue House.
Selain itu, organisasi hak asasi manusia internasional dan berbagai pemerintah asing turut menyampaikan keprihatinan. Jepang dan Cina, sebagai negara tetangga, menyatakan akan terus memantau situasi di Korea Selatan dengan cermat karena ketidakstabilan politik dapat berdampak pada kawasan Asia Timur.
Krisis politik ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi Korea Selatan. Pasar saham mengalami volatilitas tajam, dan nilai mata uang won terhadap dolar AS melemah signifikan dalam beberapa hari terakhir. Para investor asing mulai khawatir akan potensi kerugian jika situasi ini terus berlarut-larut tanpa solusi konkret.
Sementara itu, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan juga terus menurun. Beberapa pengamat politik menyebut krisis ini sebagai ujian terbesar bagi demokrasi Korea Selatan sejak era reformasi politik pada akhir 1980-an.
Salah satu isu krusial dalam krisis ini adalah keterlibatan militer. Banyak pihak mempertanyakan apakah institusi militer seharusnya terlibat langsung dalam konflik politik sipil. Sebagian besar petinggi militer memilih untuk tetap netral, tetapi langkah Presiden Yoon memerintahkan pengerahan pasukan ke gedung parlemen menimbulkan kekhawatiran akan potensi politisasi militer di masa depan.
Analis pertahanan menilai bahwa militer Korea Selatan perlu berhati-hati menjaga independensi mereka dalam sistem demokrasi. Jika militer terlalu dekat dengan penguasa politik, hal ini dapat menciptakan preseden buruk yang berpotensi melemahkan prinsip dasar konstitusi.