
Foomer Official – Tidak semua anak tumbuh dengan sosok ayah yang hadir, baik secara fisik maupun emosional. Fenomena ini dikenal dengan istilah “fatherless”, kondisi ketika seorang anak hidup tanpa figur ayah dalam kehidupannya. Berdasarkan data, sekitar 20,1 persen atau 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh dalam situasi fatherless. Angka ini cukup mengkhawatirkan karena peran ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pembentuk karakter dan arah hidup anak.
Anak-anak yang kehilangan kehadiran ayah cenderung mengalami kesulitan dalam pengendalian emosi, kepercayaan diri, hingga kemampuan bersosialisasi. Dalam banyak kasus, ayah memang masih ada secara fisik, tetapi tidak terlibat secara emosional karena kesibukan pekerjaan atau hubungan yang renggang dengan keluarga. Fenomena ini menjadi cermin persoalan sosial yang semakin kompleks di masyarakat modern saat ini.
Dalam keluarga fatherless, sosok ibu biasanya harus memegang seluruh peran penting dalam rumah tangga. Ia menjadi pengasuh, pencari nafkah, sekaligus figur otoritas bagi anak. Psikolog klinis Widya S. Sari, M.Psi menjelaskan bahwa kondisi ini sering kali membuat ibu kewalahan.
“Ibu kan beban tugasnya sudah cukup banyak. Kalau dia mau menghadirkan sosok ayah sendiri, bisa. Tapi tidak ideal situasinya. Bisa jadi tidak optimal,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta (23/10/2025).
Menurut Widya, situasi semacam ini membuat fungsi pengasuhan tidak seimbang. Ibu bisa menghadirkan kasih sayang, tetapi mungkin kesulitan menanamkan aspek lain yang biasanya datang dari figur ayah, seperti disiplin, ketegasan, dan arah nilai-nilai kepemimpinan. Hal ini tidak berarti anak pasti gagal, tetapi beban emosional ibu dan anak menjadi lebih besar dalam proses tumbuh kembang mereka.
“Baca Juga : HSBC Indonesia Perluas Layanan Premier Lewat Wealth Center Kedua di Jakarta”
Di tengah kondisi yang tidak ideal, lingkungan sekitar memiliki peran penting untuk mendukung anak yang tumbuh tanpa ayah. Menurut Widya, ibu dapat menghadirkan figur pengganti melalui guru, kakek, paman, atau sosok pria dewasa lainnya yang bisa memberikan teladan positif bagi anak.
“Apakah ibunya bisa menghadirkan sosok-sosok lain yang bisa membangun kualitas ideal yang biasanya dibangun oleh ayah? Misalnya kedisiplinan, kemandirian, atau identitas diri,” jelas Widya.
Langkah ini penting agar anak tetap mendapatkan keseimbangan figur pengasuhan. Dengan adanya figur pria yang berperan aktif, anak bisa belajar meniru tanggung jawab dan kekuatan karakter yang biasa diasosiasikan dengan ayah. Dukungan sosial semacam ini bisa membantu ibu menjalankan perannya dengan lebih optimal, tanpa harus merasa sendirian.
Ketidakhadiran sosok ayah tidak hanya berdampak pada aspek emosional, tetapi juga berpengaruh terhadap perilaku dan pembentukan identitas anak. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah berisiko mengalami masalah kepercayaan diri, kesulitan membangun hubungan interpersonal, hingga kecenderungan mencari validasi dari luar. Dalam kasus tertentu, mereka bisa menjadi lebih agresif atau sebaliknya, terlalu tertutup.
Namun, psikolog menekankan bahwa fatherless bukan akhir segalanya. Anak tetap bisa tumbuh sehat dan berkarakter kuat jika lingkungan sekitarnya mampu menghadirkan nilai-nilai positif melalui sosok lain. Artinya, peran ayah bisa digantikan secara fungsional, meski tidak secara biologis. Aspek pentingnya adalah kehadiran emosional yang konsisten dan dukungan psikologis yang stabil.
Selain dari lingkungan, tokoh-tokoh fiksi dalam buku atau film ternyata juga dapat membantu anak mengembangkan nilai-nilai yang biasanya ditanamkan oleh figur ayah. Widya mencontohkan bahwa anak bisa belajar tentang keberanian, tanggung jawab, atau empati dari karakter yang mereka kagumi.
“Ada anak yang belajar dari bacaan-bacaan, sehingga dia mendapatkan nilai-nilai seorang ayah dari tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan dia,” tutur Widya.
Pendekatan ini menjadi salah satu cara kreatif untuk membangun keteladanan dalam bentuk nonfisik. Dalam era digital, anak-anak dapat dengan mudah menemukan panutan melalui literatur, film, maupun kegiatan belajar yang berorientasi pada karakter. Hal ini membantu mereka tetap tumbuh dengan fondasi nilai yang kuat, bahkan tanpa kehadiran figur ayah secara langsung.
“Simak Juga : Kini Hitung Kalori Lebih Gampang Berkat Gemini Live di Galaxy Z Fold 7”
Fenomena fatherless bukan sekadar persoalan keluarga, tetapi isu sosial yang perlu disikapi bersama. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan komunitas lokal bisa berperan dalam memberikan ruang dukungan bagi ibu tunggal dan anak-anak yang kehilangan figur ayah. Misalnya, melalui program mentoring, dukungan psikologis gratis di sekolah, hingga kampanye kesadaran pentingnya peran ayah dalam keluarga.
Menurut saya, menghadirkan kembali kesadaran tentang pentingnya kehadiran ayah secara emosional menjadi langkah pertama. Banyak ayah yang sebenarnya hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Dengan meningkatkan kualitas waktu bersama keluarga, ayah bisa menjadi fondasi kuat bagi perkembangan emosional anak.
Fenomena fatherless adalah cermin nyata perubahan sosial yang kompleks. Dalam keluarga modern, peran ayah sering tergeser oleh tekanan ekonomi dan gaya hidup kerja yang padat. Namun, meski sosok ayah tak selalu hadir, nilai-nilai yang ia wakili tetap bisa dihadirkan melalui dukungan ibu, lingkungan, dan pendidikan karakter yang baik.
Anak-anak membutuhkan lebih dari sekadar nafkah; mereka butuh panutan, kedisiplinan, dan kasih sayang yang seimbang. Maka, tugas kita sebagai masyarakat adalah memastikan tidak ada anak yang tumbuh sendirian secara emosional. Karena sejatinya, menjadi ayah bukan soal status, tapi soal kehadiran.