Bahaya Tersembunyi di Balik Matcha: Kisah Wanita Masuk RS Akibat Konsumsi Rutin
Foomer Official – Matcha kini menjadi minuman favorit banyak orang di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Minuman berwarna hijau ini dikenal kaya antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan jantung dan daya tahan tubuh. Tidak heran jika matcha sering dipromosikan sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Namun, tidak semua orang bisa merasakan manfaatnya secara maksimal. Kisah seorang wanita asal Maryland, AS, menjadi bukti bahwa konsumsi matcha juga dapat membawa dampak buruk jika tidak disesuaikan dengan kondisi tubuh.
Lynn Shazeen (28) pertama kali mengenal matcha pada Mei 2025. Sejak saat itu, matcha latte menjadi minuman favoritnya. Ia bahkan menjadikannya sebagai ritual mingguan dengan konsumsi hingga dua gelas setiap pekan. Awalnya, Shazeen merasa baik-baik saja, hingga akhirnya tubuhnya mulai memberi sinyal adanya masalah kesehatan yang serius.
Pada Juli 2025, Shazeen mulai merasakan perubahan pada tubuhnya. Ia merasa lelah tanpa alasan jelas, sering kedinginan, hingga muncul rasa gatal yang tidak biasa. Gejala-gejala tersebut perlahan memburuk. Kondisi inilah yang mendorong Shazeen untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Dari hasil tes darah, dokter menyatakan bahwa ia mengalami anemia berat, sebuah kondisi yang membuat kadar sel darah merah menurun drastis.
Anemia sendiri merupakan kelainan darah yang ditandai dengan rendahnya kadar sel darah merah. Gejala paling umum dari kondisi ini adalah rasa lelah berlebihan. Namun, anemia juga bisa memicu gejala lain seperti nyeri dada, sakit kepala, pusing, sesak napas, hingga detak jantung tidak teratur. Pada kasus Shazeen, konsumsi matcha justru memperburuk kondisi anemia yang sudah ia derita sejak lama.
Menurut dokter Parth Bhavsar, matcha mengandung polifenol yang bisa bertindak sebagai “penangkap zat besi”. Zat ini mengikat zat besi di usus dan menghambat penyerapannya ke dalam aliran darah. Padahal, zat besi sangat penting untuk produksi sel darah merah. Jika penyerapan zat besi terhambat, risiko anemia akan semakin meningkat, terutama bagi orang yang sebelumnya sudah memiliki riwayat penyakit ini.
Bhavsar menyarankan agar matcha tidak dikonsumsi berdekatan dengan waktu makan. Hal ini bertujuan agar zat besi dari makanan tetap dapat diserap tubuh. Selain itu, mengombinasikan makanan nabati kaya zat besi dengan vitamin C bisa membantu meningkatkan penyerapan. Dengan cara ini, efek negatif polifenol pada matcha bisa diminimalisir sehingga risiko anemia dapat ditekan.
Setelah kadar zat besinya menurun drastis, Shazeen akhirnya berhenti mengonsumsi matcha. Kini ia lebih sering minum teh biasa untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Hasilnya cukup positif, ia merasa jauh lebih baik dan energinya kembali normal. Shazeen mengaku tidak menyangka bahwa konsumsi matcha hanya satu hingga dua kali seminggu saja sudah cukup memperburuk kondisinya.
Kisah Shazeen menjadi peringatan bahwa tidak semua tren kesehatan cocok untuk semua orang. Matcha memang kaya manfaat, tetapi juga menyimpan risiko bagi penderita anemia atau orang dengan kadar zat besi rendah. Oleh karena itu, penting untuk memahami kondisi tubuh sebelum menjadikan matcha sebagai bagian dari rutinitas. Konsultasi dengan dokter atau ahli gizi bisa menjadi langkah bijak sebelum mengikuti tren minuman populer ini.