Analis Beberkan Alasan Rupiah Melemah Hingga Sentuh Rp16.600 per Dolar AS
Foomer Official – Nilai tukar rupiah beberapa pekan terakhir terus menunjukkan tren pelemahan. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dari Bank Indonesia, kurs rupiah berada di posisi Rp16.636 per dolar AS pada Selasa, 23 September. Padahal, pada awal September lalu rupiah masih stabil di kisaran Rp16.300 hingga Rp16.400 per dolar AS. Perubahan ini memberi sinyal kuat bahwa tekanan eksternal dan internal sedang berlangsung secara bersamaan.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa pelemahan rupiah tidak hanya dipicu faktor global, tetapi juga faktor domestik. Ia menyebutkan bahwa pada hari-hari terakhir tekanan meningkat cukup signifikan, sehingga nilai rupiah sempat menyentuh Rp16.500. Meski demikian, Perry menekankan bahwa BI berkomitmen penuh untuk menjaga stabilitas rupiah melalui berbagai kebijakan moneter yang terukur.
Sebagai perbandingan, Perry mengingatkan bahwa rupiah pernah jatuh lebih dalam hingga menembus Rp17.000 per dolar AS. Kondisi itu terjadi saat Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal beberapa tahun lalu. Jika dibandingkan dengan fase tersebut, pelemahan rupiah saat ini masih relatif terkendali. Inilah alasan BI tetap optimistis menjaga ketahanan rupiah dalam jangka menengah.
Salah satu penyebab utama pelemahan rupiah adalah konflik geopolitik di Timur Tengah yang kembali memanas. Situasi tersebut memicu kenaikan harga minyak mentah dunia. Ketika harga energi naik, biaya logistik dan produksi global ikut terdorong. Akibatnya, inflasi meningkat di berbagai negara dan memengaruhi kebijakan moneter global, termasuk langkah bank sentral Amerika Serikat.
Dengan naiknya inflasi, The Federal Reserve menjadi enggan untuk memangkas suku bunga. Padahal, pemangkasan bunga biasanya mampu menahan apresiasi dolar AS. Oleh karena itu, ketika suku bunga tetap tinggi, dolar semakin kuat dan rupiah makin tertekan. Analisis ini diperkuat oleh pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi yang menegaskan bahwa keterkaitan inflasi dan kebijakan The Fed sangat menentukan arah rupiah.
Selain faktor eksternal, faktor dalam negeri juga memiliki pengaruh besar. Menurut Ibrahim, sentimen pasar menurun akibat pernyataan-pernyataan dari Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Banyak kritik yang disampaikan secara terbuka justru menimbulkan persepsi negatif di kalangan pelaku pasar. Mereka menilai retorika politik tidak seharusnya menggeser fokus utama, yakni menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh komunikasi pemerintah membuat sebagian investor asing memilih menarik dana. Aliran keluar modal asing inilah yang memperburuk pelemahan rupiah. Dalam kondisi seperti ini, kredibilitas komunikasi kebijakan ekonomi sangat krusial. Pasar membutuhkan kepastian arah kebijakan, bukan sekadar pernyataan politis yang menambah keraguan.
Lukman Leong, analis Doo Financial Futures, menambahkan bahwa pelemahan rupiah juga berkaitan dengan sentimen domestik lainnya. Salah satunya adalah kekhawatiran terhadap defisit fiskal akibat berbagai stimulus yang dikeluarkan pemerintah. Di sisi lain, pelonggaran moneter melalui pemangkasan suku bunga Bank Indonesia juga menambah tekanan terhadap mata uang nasional.
Menurut Lukman, kebijakan pelonggaran moneter dan fiskal memang bertujuan menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, langkah tersebut seringkali memberi efek samping berupa pelemahan nilai tukar. Karena itulah, BI perlu menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan stabilitas rupiah agar pasar tidak kehilangan kepercayaan.
Meski tekanan masih tinggi, Lukman menilai BI memiliki kemampuan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas kurs. Ia memprediksi rupiah akan tetap menghadapi tantangan hingga akhir tahun, namun peluang perbaikan tetap terbuka. Pasalnya, dolar AS diperkirakan bisa melemah kembali jika The Fed akhirnya mengambil keputusan untuk memangkas suku bunga secara bertahap.
Nilai tukar rupiah tidak hanya berpengaruh pada pelaku pasar, tetapi juga menyentuh kehidupan masyarakat luas. Melemahnya rupiah berpotensi meningkatkan harga barang impor, energi, hingga bahan baku industri. Oleh karena itu, menjaga kestabilan kurs menjadi bagian penting dari strategi menjaga daya beli masyarakat sekaligus menjaga daya saing industri dalam negeri.
Bagi dunia usaha, terutama sektor yang banyak bergantung pada impor, pelemahan rupiah meningkatkan biaya produksi. Perusahaan perlu menyesuaikan harga jual, mencari sumber bahan baku alternatif, atau melakukan strategi lindung nilai. Jika tidak, margin keuntungan bisa tergerus tajam. Oleh karena itu, pengelolaan risiko kurs menjadi salah satu faktor kunci dalam strategi bisnis.
Intervensi BI di pasar valuta asing tidak hanya soal menjaga kurs agar stabil, tetapi juga membangun kepercayaan. Ketika investor melihat bahwa bank sentral sigap menghadapi gejolak, mereka lebih yakin untuk tetap menanamkan modal. Kepercayaan inilah yang menjadi modal penting dalam menjaga arus modal asing agar tidak keluar berlebihan.
Selain BI, pemerintah juga diharapkan mampu menjaga disiplin fiskal. Anggaran yang sehat akan memperkuat persepsi pasar bahwa Indonesia mampu menghadapi tekanan global. Transisi komunikasi yang lebih menenangkan serta fokus pada eksekusi kebijakan nyata akan memberikan sinyal positif bagi investor. Dengan begitu, tekanan terhadap rupiah dapat dikurangi secara bertahap.
Pelemahan rupiah hingga kisaran Rp16.600 per dolar AS merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor global dan domestik. Ketegangan geopolitik, harga minyak, kebijakan The Fed, serta sentimen fiskal dalam negeri semuanya berkontribusi. Namun, BI dan pemerintah memiliki instrumen untuk mengatasi tekanan tersebut. Dengan kombinasi kebijakan moneter, fiskal, dan komunikasi yang konsisten, rupiah berpotensi kembali stabil.