
Foomer Official – Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq menegaskan bahwa literasi kesehatan mental memiliki peran besar dalam membantu murid memulihkan kondisi emosional mereka. Menurutnya, literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga proses yang memberi ruang tenang bagi siswa. Oleh karena itu, kegiatan membaca dapat menjadi jalan bagi mereka untuk mengurangi tekanan. Selain itu, buku menghadirkan dunia yang lebih aman dibandingkan media sosial yang sering penuh distraksi. Dengan membaca, murid dapat fokus, menenangkan pikiran, dan memahami makna hidup secara perlahan. Fajar melihat bahwa manfaat literasi melampaui akademik karena literasi menyentuh sisi paling manusiawi dari seorang anak.
Fajar juga menyoroti bahwa literasi kesehatan mental membutuhkan dukungan komunitas seperti Relima. Ia menjelaskan bahwa kehadiran relawan sangat penting karena mereka membantu menghadirkan budaya membaca di tengah gempuran konten digital. Selain itu, Relima mendorong murid untuk berinteraksi melalui buku, diskusi kecil, dan kegiatan belajar sebaya. Dengan cara itu, murid dapat membangun kembali kebiasaan bersosialisasi yang mulai memudar. Fajar menyebut bahwa interaksi sosial sangat dibutuhkan agar murid tidak merasa sendirian. Melalui Relima, sekolah dan masyarakat dapat bekerja sama menjaga kesehatan mental siswa sekaligus menumbuhkan rasa kebersamaan yang hangat.
“Baca Juga : Diet Happy: Menikmati Makanan dan Menurunkan Berat“
Dalam penjelasannya, Fajar menegaskan bahwa literasi kesehatan mental membuat murid tumbuh menjadi manusia yang lebih bermakna. Ketika membaca, mereka belajar memahami emosi, mengenali berbagai sudut pandang, dan melihat dunia dengan cara yang lebih luas. Selain itu, literasi mendorong murid untuk berpikir jernih ketika menghadapi tekanan sosial. Buku membantu mereka menemukan nilai hidup yang sering hilang dalam hiruk pikuk media digital. Dengan demikian, literasi menjadi proses yang memulihkan sekaligus memperkuat karakter. Fajar berharap budaya literasi dapat menuntun siswa untuk menemukan kembali jati diri dan rasa percaya diri mereka di tengah dunia yang terus berubah.
Namun, Fajar mengingatkan bahwa literasi kesehatan mental semakin penting karena angka kesepian di kalangan Gen Z terus meningkat. Data menunjukkan adanya lebih dari 2.000 kasus bunuh diri sejak 2012, dengan hampir setengahnya dilakukan oleh anak muda. Selain itu, KPAI mencatat 25 kasus bunuh diri anak sepanjang 2025. Banyak remaja merasa tertekan oleh perundungan dan tuntutan sosial. Oleh karena itu, literasi dapat menjadi salah satu ruang aman yang memberi ketenangan. Melalui buku, murid dapat menemukan pelarian yang sehat, sekaligus memproses perasaan yang sulit mereka ungkapkan secara langsung kepada orang lain.
“Baca Juga : Menu Harian Diet Paleo yang Praktis dan Lezat untuk Pemula“
Di sisi lain, survei UMN Consulting menunjukkan bahwa anak muda kini banyak mencari tempat aman melalui teknologi AI. Mereka merasa lebih bebas bercerita kepada chatbot karena tidak takut dihakimi. Dengan demikian, platform seperti ChatGPT, Gemini, DeepSeek, dan Copilot menjadi ruang curhat baru bagi Gen Z. Namun, tren ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya haus akan pendengar yang ramah. Meski teknologi membantu, interaksi manusia tetap jauh lebih hangat. Karena itu, literasi menjadi cara lain untuk menenangkan diri. Melalui membaca, siswa bisa memahami emosi mereka tanpa tekanan dan tanpa merasa diawasi.
Melihat berbagai fenomena tersebut, Fajar menekankan bahwa literasi kesehatan mental harus menjadi bagian penting dari proses pendidikan. Sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu bekerja bersama untuk membangun lingkungan yang aman bagi murid. Selain itu, literasi dapat menjadi alat untuk membantu mereka mengelola kecemasan, memahami diri sendiri, dan menjaga kesehatan mental. Ketika budaya membaca tumbuh, murid akan lebih mudah meredakan tekanan. Dengan demikian, masa depan pendidikan tidak hanya tentang akademik, tetapi juga tentang membentuk generasi yang kuat secara emosional dan siap menghadapi tantangan kehidupan.