Foomer Official – Liburan akhir tahun selalu hadir dengan janji kebahagiaan. Setelah bulan-bulan panjang bekerja dan belajar, banyak orang menunggu momen ini sebagai jeda yang menyegarkan. Namun, di balik suasana meriah, ada tekanan tak terlihat yang kerap menyusup pelan-pelan. Media sosial dipenuhi foto liburan mewah, diskon besar-besaran menggoda di setiap sudut layar, dan narasi bahwa liburan harus “sempurna”. Kondisi ini memicu Fear of Missing Out atau FOMO, rasa takut tertinggal dari pengalaman orang lain. Tanpa disadari, liburan yang seharusnya menenangkan justru menjadi sumber stres baru. Banyak orang akhirnya mengambil keputusan impulsif demi mengejar kebahagiaan instan. Di sinilah pentingnya kesadaran bahwa liburan sejatinya adalah soal memulihkan diri, bukan memenuhi ekspektasi sosial yang sering kali semu.
Jebakan Diskon dan Ilusi Berhemat
Diskon akhir tahun sering dianggap sebagai kesempatan emas untuk berhemat. Namun menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Prof Dr Rudi Purwono, potongan harga justru kerap menciptakan ilusi penghematan. Barang yang awalnya tidak dibutuhkan tiba-tiba terasa wajib dibeli karena label diskon yang mencolok. Secara psikologis, otak merespons diskon sebagai keuntungan, meski secara nyata uang tetap keluar. Fenomena ini diperparah oleh kemudahan transaksi digital yang membuat proses belanja terasa ringan. Dalam konteks liburan, ilusi ini mendorong pengeluaran spontan tanpa pertimbangan manfaat jangka panjang. Menyadari jebakan ini adalah langkah awal untuk membangun kontrol diri. Tidak semua diskon adalah kesempatan, dan tidak semua pembelian membawa kebahagiaan yang bertahan lama.
“Baca Juga : Gigi Goyang pada Orang Dewasa: Sinyal Tubuh yang Tak Boleh Diabaikan”
Pengaruh Media Sosial terhadap Keputusan Finansial
Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk cara orang memaknai liburan. Unggahan foto destinasi populer, hotel mewah, dan pengalaman eksklusif menciptakan standar kebahagiaan yang seragam. Tekanan untuk tampil “ikut bahagia” sering kali mendorong keputusan konsumsi yang tidak rasional. Menurut Prof Rudi, pengeluaran liburan kini lebih banyak dipicu keinginan sesaat daripada kebutuhan nyata. Ketika validasi sosial menjadi tujuan, batas antara kebutuhan dan gengsi menjadi kabur. Padahal, setiap orang memiliki kondisi finansial dan prioritas berbeda. Menyadari bahwa media sosial hanya menampilkan potongan terbaik dari hidup orang lain dapat membantu meredam FOMO. Liburan tidak harus dipamerkan untuk bermakna, dan kebahagiaan tidak selalu berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan.
Budgeting sebagai Pagar Psikologis
Agar liburan tidak berujung pada penyesalan finansial, disiplin anggaran menjadi kunci utama. Prof Rudi menyarankan pendekatan sederhana namun efektif, yakni mengalokasikan maksimal 20–30 persen uang saku bulanan untuk hiburan dan leisure selama liburan. Angka ini berfungsi sebagai pagar psikologis yang membantu menahan diri dari godaan belanja berlebihan. Dengan batas yang jelas, keputusan menjadi lebih rasional dan terukur. Sisa pendapatan tetap harus dialokasikan untuk kebutuhan rutin dan tabungan. Pendekatan ini bukan tentang menahan diri berlebihan, melainkan tentang memberi ruang aman bagi keuangan pribadi. Budgeting yang realistis justru membuat liburan terasa lebih ringan, karena dinikmati tanpa rasa bersalah dan kecemasan pasca-liburan.
“Baca Juga : Dokter Indonesia Cetak Sejarah Lewat Bedah Jantung Minimal Invasif Super Kompleks”
Menghindari Utang demi Gaya Hidup
Kemudahan fitur Buy Now Pay Later atau paylater sering dianggap solusi instan untuk menikmati liburan tanpa menguras tabungan. Namun, di balik kenyamanan tersebut, tersembunyi risiko utang jangka pendek dengan bunga dan denda yang membebani. Prof Rudi mengingatkan bahwa paylater pada dasarnya adalah utang, bukan tambahan pendapatan. Menggunakannya demi gengsi atau mengikuti tren justru memindahkan masalah ke masa depan. Prinsip sederhana perlu dipegang, terutama bagi mereka yang belum memiliki pendapatan tetap: jangan membiayai gaya hidup dengan utang. Liburan yang sehat adalah liburan yang tidak meninggalkan beban finansial. Menunda kesenangan jauh lebih bijak dibandingkan menikmati liburan singkat dengan konsekuensi panjang.
Memaknai Liburan secara Lebih Sederhana
Liburan tanpa FOMO dimulai dari perubahan cara pandang. Kebahagiaan tidak selalu datang dari destinasi mahal atau belanja besar, melainkan dari kualitas waktu yang dijalani. Menghabiskan waktu bersama keluarga, menikmati kota sendiri, atau sekadar beristirahat di rumah bisa sama bermaknanya. Ketika liburan dimaknai sebagai waktu pemulihan, tekanan untuk mengikuti tren perlahan memudar. Pendekatan ini membantu menjaga kesehatan mental dan finansial secara bersamaan. Dengan kesadaran penuh, liburan menjadi ruang untuk bernapas, bukan arena pembuktian. Pada akhirnya, liburan yang benar-benar menyenangkan adalah yang meninggalkan rasa tenang, bukan kekhawatiran saat kembali ke rutinitas.