Foomer Official – Sebuah video Viral Toko Tolak Uang Tunai nenek membeli roti karena hanya membawa uang tunai menyentuh emosi publik. Dalam rekaman itu, sang nenek diminta membayar menggunakan metode non-tunai, padahal ia tidak memiliki akses ke sistem pembayaran digital. Peristiwa sederhana ini berubah menjadi perbincangan nasional karena menyentuh isu yang lebih besar: hak warga negara atas alat pembayaran yang sah. Di tengah gencarnya digitalisasi, video tersebut menjadi pengingat bahwa tidak semua lapisan masyarakat bergerak dengan kecepatan yang sama. Ada kelompok rentan yang masih bergantung pada uang fisik untuk bertahan hidup sehari-hari. Ketika akses mereka tertutup oleh kebijakan sepihak sebuah toko, rasa keadilan publik pun terusik. Dari sinilah perdebatan tentang batas digitalisasi dan kewajiban hukum mulai mengemuka.
Saleh Daulay Ingatkan Bahaya Aturan Sepihak Gerai
Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menilai praktik penolakan pembayaran tunai sebagai bentuk aturan sepihak yang berpotensi merusak tatanan hukum. Ia menegaskan bahwa pemilik usaha, termasuk jaringan ritel, bukan pembuat undang-undang. Karena itu, mereka tidak berwenang menetapkan aturan yang meniadakan hak konsumen. Saleh juga mengungkap pengalamannya sendiri yang kerap ditolak saat hendak membayar tunai di sejumlah tempat. Fenomena ini, menurutnya, bukan kasus terisolasi, melainkan gejala yang semakin meluas. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa menciptakan kekacauan norma di masyarakat. Negara hukum, kata Saleh, harus berdiri di atas aturan yang sama bagi semua, bukan pada kebijakan internal perusahaan yang mengabaikan kepentingan publik.
“Baca Juga : Bonus Demografi di Persimpangan Jalan: Empat Tantangan Besar Indonesia ke Depan“
Uang Tunai Masih Alat Pembayaran Sah Menurut Undang-Undang
Saleh mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas mewajibkan penerimaan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Penolakan hanya dibenarkan jika terdapat dugaan kuat uang tersebut palsu, dan pihak yang menolak wajib membuktikannya. Dalam konteks kasus nenek tersebut, tidak ada indikasi uang palsu, sehingga penolakan menjadi tidak berdasar secara hukum. Ketentuan ini dibuat untuk melindungi semua warga negara, tanpa kecuali. Uang tunai bukan sekadar alat transaksi, tetapi simbol kedaulatan negara. Ketika rupiah ditolak tanpa alasan sah, yang tercederai bukan hanya konsumen, tetapi juga wibawa hukum dan otoritas negara.
Digitalisasi Tak Boleh Mengorbankan Kelompok Rentan
Teknologi pembayaran digital memang membawa kemudahan, namun Saleh menekankan bahwa tidak semua orang siap atau mampu menggunakannya. Lansia, masyarakat pedesaan, dan kelompok berpenghasilan rendah sering kali tertinggal dalam arus digitalisasi. Memaksa mereka beradaptasi tanpa transisi yang adil sama saja dengan mengecualikan mereka dari ruang ekonomi. Kasus nenek yang ditolak membeli roti menjadi simbol ketimpangan akses tersebut. Digitalisasi seharusnya bersifat inklusif, bukan eksklusif. Ia harus membuka pintu, bukan menutupnya. Negara, menurut Saleh, perlu memastikan bahwa inovasi teknologi berjalan seiring dengan perlindungan sosial.
“Baca Juga : Menanam Harapan di Pesisir Jakarta: Komitmen Asuransi Simas Jiwa untuk Ekosistem Mangrove“
DPR Minta Menkeu dan BI Turun Tangan
Melihat dampak sosial yang kian luas, Saleh mendesak Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk turun tangan langsung. Ia meminta agar pihak yang memerintahkan kebijakan “cashless only” diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban. Aturan dalam UU Mata Uang memiliki konsekuensi hukum yang jelas dan tidak boleh diabaikan. Penegakan hukum yang tegas dinilai penting agar praktik serupa tidak terus berulang. Jika negara tampak lemah, kepercayaan publik terhadap sistem hukum bisa terkikis. Bagi DPR, kehadiran negara dalam kasus ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk perlindungan nyata terhadap hak warga.
Permintaan Maaf Roti’O dan Evaluasi Layanan
Menanggapi viralnya kasus tersebut, manajemen Roti’O akhirnya menyampaikan permohonan maaf kepada publik. Mereka menjelaskan bahwa kebijakan non-tunai bertujuan memberi kemudahan dan promo bagi pelanggan. Namun, reaksi masyarakat menunjukkan bahwa niat baik tidak selalu sejalan dengan dampak di lapangan. Roti’O mengaku telah melakukan evaluasi internal agar pelayanan ke depan lebih sensitif terhadap kondisi pelanggan. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha bahwa inovasi harus disertai empati. Di tengah transformasi digital, sentuhan kemanusiaan tetap menjadi kunci kepercayaan konsumen.