Foomer Official – Nilai tukar rupiah tertekan dolar AS pada perdagangan Jumat (15/11) pagi, tertekan ke posisi Rp15.938 per dolar AS. Mata uang Garuda ini melemah 76 poin atau turun sekitar 0,48 persen dibandingkan penutupan sebelumnya. Tren pelemahan rupiah ini sejalan dengan kondisi mayoritas mata uang Asia yang juga mengalami tekanan.
Selain rupiah, sejumlah mata uang utama di kawasan Asia juga tercatat melemah di pagi hari ini. Di antaranya, dolar Hong Kong mengalami penurunan tipis sebesar 0,02 persen, sementara ringgit Malaysia dan rupee India masing-masing merosot 0,03 persen. Peso Filipina jatuh 0,08 persen, won Korea Selatan turun 0,10 persen, yen Jepang melemah 0,12 persen, dan yuan China anjlok 0,16 persen.
Hanya ada dua mata uang Asia yang tercatat menguat terhadap dolar AS, yaitu dolar Singapura yang naik dan baht Thailand. Secara keseluruhan, kondisi ini mencerminkan tren pelemahan mata uang regional yang tengah dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internasional.
“Baca juga: KUR atau Pinjol? Agar Lebih Aman, Simak Rekomendasinya”
Pelemahan rupiah ini diperkirakan terkait dengan penguatan dolar AS, yang terus menunjukkan performa positif. Pengamat komoditas dan mata uang, Lukman Leong, menjelaskan bahwa dolar AS tetap kokoh didorong oleh data klaim pengangguran di AS yang lebih baik dari perkiraan pasar. Data tersebut menunjukkan stabilitas ekonomi AS yang cukup kuat, yang mendukung prospek penguatan dolar AS.
Selain itu, penguatan dolar AS juga dipicu oleh pernyataan hawkish dari Gubernur The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell. Powell menyatakan bahwa suku bunga acuan AS kemungkinan tidak akan segera diturunkan mengingat kondisi ekonomi AS yang masih sangat kuat, bahkan terkuat di antara negara-negara ekonomi maju. Hal ini memberi dukungan lebih lanjut bagi penguatan dolar AS, yang tentu saja menambah tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Sementara itu, mata uang utama negara maju juga menunjukkan kecenderungan menguat terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris menguat tipis sebesar 0,04 persen, sementara euro Eropa naik 0,07 persen. Franc Swiss juga tercatat naik 0,04 persen, dan dolar Australia sedikit menguat sebesar 0,05 persen. Hanya dolar Kanada yang mengalami penurunan kecil sebesar 0,02 persen.
Penguatan mata uang negara maju ini, meskipun relatif terbatas, menunjukkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mendukung stabilitas mata uang tersebut di tengah ketidakpastian ekonomi global. Meskipun demikian, dolar AS tetap menjadi mata uang dominan yang memberikan tekanan pada sebagian besar mata uang dunia, termasuk rupiah.
Berdasarkan analisis yang ada, rupiah diperkirakan akan terus berada di bawah tekanan dalam jangka pendek, mengingat penguatan dolar AS yang dipicu oleh kebijakan moneter The Fed dan data ekonomi AS yang kuat.
Pelaku pasar dan masyarakat perlu memperhatikan perkembangan ekonomi AS dan kebijakan moneter The Fed dalam beberapa waktu mendatang. Sebab, pengaruhnya terhadap nilai tukar rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya kemungkinan akan terus berlanjut.