Foomer Official – Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meskipun sudah diatur dalam undang-undang, rencana ini mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan, baik ekonom maupun pelaku usaha, yang menilai bahwa kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama kalangan kelas menengah.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan PPN merupakan bagian dari implementasi kebijakan yang sudah disahkan dalam UU HPP, yang mengatur tarif PPN naik bertahap menjadi 12 persen mulai tahun 2025. Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menunda pemberlakuan kenaikan tarif PPN ini. APBN sebagai instrumen fiskal yang menjaga stabilitas perekonomian harus dijaga kesehatannya, meskipun ada kekhawatiran tentang dampaknya terhadap daya beli masyarakat.
“Baca juga: Kenaikan Iuran BPJS: Solusi atau Beban Baru bagi Masyarakat?”
Kenaikan tarif PPN ini mendapatkan banyak kritik, terutama dari kalangan ekonom yang memprediksi bahwa kebijakan tersebut bisa memperburuk kondisi ekonomi. Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN 1 persen yang signifikan ini akan menekan daya beli masyarakat. Ia menyatakan bahwa meskipun upah minimum mungkin mengalami kenaikan, hal itu tidak sebanding dengan kenaikan tarif PPN yang akan mendorong harga barang dan jasa lebih tinggi.
“Sekarang mencari pekerjaan sudah semakin sulit, persaingan semakin ketat, dan kenaikan upah minimum juga tidak seberapa. Sementara kebijakan pemerintah justru menahan daya beli dan mengurangi konsumsi rumah tangga,” kata Bhima.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance, juga memperingatkan bahwa jika kebijakan kenaikan PPN ini diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi perekonomian yang tengah lesu. Pertumbuhan ekonomi bisa tertekan di bawah 5 persen pada tahun depan. Meskipun konsumsi rumah tangga pada kuartal terakhir tumbuh 4,9 persen pasca-pandemi, hal itu sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan daya beli masyarakat.
“Simak juga: Peternak Terharu dengan Tindakan Cepat Mentan Amran Atasi Krisis Susu”
Kritik juga datang dari pelaku usaha. Mereka menilai bahwa sektor makanan dan minuman yang paling terdampak oleh kenaikan tarif PPN. Menurutnya, dunia usaha, terutama sektor retail, sudah dalam kondisi yang sangat berat.
“Untuk sektor usaha, khususnya yang bergerak di bidang kebutuhan pangan, kenaikan PPN ini sangat memberatkan. Kami berharap pemerintah bisa meninjau ulang kebijakan ini,” tambahnya.
Banyak pihak menginginkan pemerintah untuk lebih bijak dalam menetapkan kebijakan pajak. Mereka berharap agar pemerintah mencari alternatif lain dalam mengoptimalkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat yang sudah tertekan. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif tanpa harus terlalu mengandalkan kebijakan pajak yang berisiko memperburuk konsumsi rumah tangga dan menambah beban ekonomi kelas menengah.