Purbaya Soal Tax Amnesty Jilid 3: Celah Kibul dan Masa Depan Kebijakan Pajak Indonesia
Foomer Official – Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai wacana tax amnesty jilid 3 kembali mengguncang wacana publik. Baginya, kebijakan pengampunan pajak yang terlalu sering justru menjadi celah bagi wajib pajak untuk “kibul-kibul”. Artinya, mereka bisa sengaja menunda kewajiban karena merasa akan selalu ada kesempatan baru untuk diampuni. Pandangan ini membuka diskusi besar: apakah tax amnesty benar-benar solusi atau justru bom waktu bagi sistem perpajakan Indonesia?
Isu pengampunan pajak jilid 3 mencuat sejak akhir 2024, saat DPR RI memasukkan revisi UU Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas prioritas 2025. Menanggapi hal itu, Purbaya menegaskan keraguannya. Ia khawatir kebijakan ini justru memperburuk kepatuhan pajak. Baginya, menjalankan aturan yang ada dengan konsisten jauh lebih penting daripada mengulang program insidental.
Tax amnesty adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan pengampunan bagi wajib pajak yang menunggak atau menyembunyikan aset, dengan imbalan mereka membayar sejumlah uang tebusan. Tujuan utamanya adalah memperluas basis pajak, menarik dana ke dalam negeri, dan memperbaiki kepatuhan. Namun, tujuan mulia ini tak selalu berjalan mulus.
Tax amnesty pertama dilaksanakan pada 2016-2017. Pemerintah saat itu mengklaim program ini hanya dilakukan sekali, dengan alasan mendesak untuk menarik aset yang tersembunyi di luar negeri. Nyatanya, pada 2022, muncul lagi kebijakan serupa dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kedua program ini menunjukkan pola berulang yang kini menimbulkan tanda tanya besar.
Dari sisi penerimaan, tax amnesty jilid I berhasil menarik Rp114,02 triliun uang tebusan, meski masih di bawah target. PPS 2022 juga menghasilkan Rp60,01 triliun. Namun di sisi lain, banyak pihak menilai kebijakan ini memberi sinyal bahwa “curang dulu tidak masalah, toh nanti akan ada amnesti lagi”. Celah inilah yang ditakuti Purbaya.
Debat muncul karena ada dua kubu besar. Kubu pro menilai tax amnesty bisa memperbaiki penerimaan negara secara cepat, terutama saat APBN butuh dana segar. Kubu kontra berpendapat sebaliknya, bahwa manfaat jangka pendek tidak sebanding dengan kerusakan moral wajib pajak jangka panjang.
Menurut Purbaya, tax amnesty jilid 3 justru memberi insentif untuk tidak taat. Analogi sederhananya seperti orang yang menunda bayar utang karena yakin besok akan ada pemutihan. Ini jelas sinyal buruk bagi kesehatan fiskal.
Jika terus diulang, wajib pajak bisa terbiasa menunda. Mereka akan berpikir, “toh dua tahun lagi ada amnesti lagi”. Dampak besarnya adalah turunnya kepatuhan, menipisnya rasa keadilan, dan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Purbaya mendorong agar pemerintah tidak lagi bergantung pada amnesti. Alternatifnya adalah memperkuat pengawasan, memberi hukuman tegas bagi pelanggar, sekaligus memberikan insentif bagi wajib pajak patuh. Edukasi publik juga penting agar masyarakat memahami manfaat pajak.
DPR bersama pemerintah tengah membahas kemungkinan revisi UU Tax Amnesty. Namun banyak pihak menduga, ada kepentingan politik dan lobi tertentu di balik dorongan untuk mengulang kebijakan ini. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Bagi dunia usaha, tax amnesty bisa memberi kepastian jangka pendek. Tapi di sisi lain, kebijakan ini bisa membuat iklim investasi dipandang tidak konsisten. Investor asing bisa ragu karena aturan perpajakan dianggap mudah berubah.
Masyarakat kecil sering merasa bahwa tax amnesty hanya menguntungkan kalangan atas yang punya aset besar. Sementara mereka yang taat membayar pajak sejak awal tidak mendapatkan keuntungan apapun. Rasa keadilan inilah yang menjadi sorotan publik.
Beberapa negara seperti Argentina dan India juga pernah menggelar tax amnesty. Hasilnya beragam: ada yang sukses meningkatkan penerimaan, tapi banyak juga yang berakhir gagal karena kepatuhan menurun. Indonesia perlu belajar dari pengalaman itu agar tidak mengulang kesalahan.
Saat ini, belum ada keputusan final. Semua tergantung pada pembahasan DPR dan sikap pemerintah. Skenario terbaik adalah pemerintah menolak kebijakan ini dan memperkuat penegakan hukum. Skenario terburuk: tax amnesty kembali digelar, dan siklus buruk terus berulang.
Pernyataan Purbaya membuka mata banyak pihak. Tax amnesty mungkin terlihat sebagai solusi instan, tapi dampak jangka panjangnya bisa merusak. Yang lebih penting adalah konsistensi, keadilan, dan penegakan hukum dalam perpajakan. Hanya dengan itu Indonesia bisa membangun budaya pajak yang sehat.